Senin, 14 Mei 2012

RA Kartini, pejuang emansipasi wanita Indonesia

RA Kartini
"...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas   nama agama itu..."


“Apa pedulinya, agama mana yang dipeluk orang dan bangsa mana dia, jiwa yang mulia tetap juga jiwa yang mulia, dan orang yang budiman tetap juga orang yang budiman. Hamba Allah ada di tiap-tiap agama, di tengah-tengah tiap-tiap bangsa.”

Indonesia memiliki tokoh pahlawan wanita yang memberi pengaruh besar terhadap kebangkitan wanita bangsa Indonesia. Dialah Raden Ajeng Kartini, lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879. Kartini lahir di kalangan bangsawan Jawa, ia anak ke-5 dari 11 bersaudara  Bupati Jepara, Raden Mas Adipati  Ario Sosroningrat. Kartini sekolah di ELS ( Europe Lagere School ) sampai usia 12 tahun, setelah usia itu ia harus tinggal di rumah dan dipingit. Di ELS ia belajar Bahasa Belanda. Kepiawaian berbahasa Belanda inilah yang membantunya berkorespondesi dengan tema-temannya di Belanda. Kartini banyak memperoleh wawasan tentang hak-hak perempuan di Belanda. Kartini juga banyak membaca surat kabar dan majalah dari Belanda dan Eropa serta majalah berbahasa Belanda di Semarang, De Locomotief. Rosa Abendanon adalah salah satu temannya di Belanda yang paling banyak mendukungnya dan banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran Kartini untuk memajukan perempuan pribumi, yang waktu itu berada pada status sosial yang rendah. Kartini juga sangat menyukai buku Max Havelaar karya Multatuli.

Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia untuk memperoleh kebebasan untuk menuntut ilmu, otonomi dan persamaan hukum. Pada saat itu perempuan pribumi terkungkung oleh adat, tidak bebas menuntut ilmu di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan lelaki yang telah dijodohkan oleh keluarganya, dan harus sedia dimadu.

RA Kartini dan KRM A.A.S Djojo Adhiningrat
Kartini dijodohkan dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, sebagai istri keempat. Mereka menikah 12 November 1903. Suaminya mendukung perjuangan Kartini dan mendukung pendirian sekolah wanita di Rembang. Mereka dikarunia seorang anak, RM Soesalit, 13 September 1904. Beberapa hari setelah melahirkan Kartini menghembuskan nafas terakhirnya 17 September 1904 pada usia 25 tahun.

Setelah RA Kartini meninggal didirikan Yayasan Kartini oleh keluarga dari seorang tokoh politik Van Deventer. Yayasan ini mendukung beberapa sekolah wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.

Mr. J.H Abendanon, Menteri Kebudayaan Agama dan Kerajinan saat itu,  membukukan surat-surat Kartini kepada teman-temannya, dengan judul       “ Door Duisternis tot Licht “ ( Dari Kegelapan Menuju Cahaya ) tahun 1911. Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul “ Habis Gelap Terbitlah Terang “.

Sekolah wanita Kartini
Tiap tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini, untuk mengenang jasa-jasa tokoh emansipasi wanita nasional ini.

Bagi saya ada dua macam bangsawan, ialah bangsawan fikiran dan bangsawan budi. Tidaklah yang lebih gila dan bodoh menurut pendapat saya dari pada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya. (Surat Kartini kepada Nona Zeehander, 18 Agustus 1899)



Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut "kuda liar". (Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)
Peduli apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan. (Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)

Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya (Surat Kartini kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901)

Di wilayah-wilayah yang diperintah langsung (oleh Belanda), nasib wanita-wanita tidak separah saudara-saudara mereka di daerah-daerah yang diperintah kesultanan, seperti di Surakarta dan Jogjakarta. Disini wanita sudah untung kalau suaminya memiliki 1, 2,3 atau 4 isteri. Di daerah-daerah kesultanan ini, wanita-wanita disitu akan menertawakannya. Sulit menemukan lelaki dengan 1 isteri. Diantara kaum aristokrat, khususnya dlm lingkungan sultan, para suami biiasanya memiliki 26 isteri. Apakah kondisi ini akan berlanjut, Stella ?
Bangsa kami begitu terbiasa dgn adat ini dan menganggap cara dimadu lelaki ini sebagai satu-satunya cara bagi wanita untuuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi saya tahu dari wanita-wanita yang saya kenal, dalam hati mereka, mereka mengutuk hak-hak lelaki ini. Tetapi kutukan tidak ada gunanya, sesuatu harus dilakukan.
… Ya, Stella, saya juga tahu bahwa di Eropa keadaan moralitas lelaki juga tragis …  tetapi ibu-ibu muda di sana bisa berbuat lebih banyak. Saya ingin sekali mendapatkan anak-anak, lelaki atau perempuan … Tetapi yg paling penting saya tidak pernah akan melanjutkan adat menyedihkan dimana anak lelaki lebih diprioritaskan daripada anak perempuan. Bahkan sejak kecil, lelaki diajarkan untuk merendahkan wanita. Sering saya mendengar ibu-ibu mengatakan kepada anak-anak lelaki mereka kalau mereka jatuh dan menangis:”Jangan cengeng seperti perempuan!”   ( Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, Agustus 1901 ).


Referensi :  id.wikipedia.org
                     id.wikiquote.org
                     multisumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar