Jaman dahulu
kala, di desa Kalianget, sebuah desa kecil dipulau Bali, hiduplah sebuah
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dua orang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan. Mereka hidup damai dan bahagia. Namun, suatu waktu, ada wabah penyakit
datang menimpa masyarakat desa itu. Empat orang dari keluarga tersebut
meninggal dunia secara bersamaan. Tinggalah si bungsu yang bernama I Jayaprana
hidup sebatang kara. Karena ia tak memiliki siapapun lagi, ia pun memberanikan
diri pergi ke istana raja. Pemuda remaja itu bertekad ingin mengabdi kepada
Raja.
Jayaprana
berwajah sangat tampan, ganteng dan murah senyum. Ia juga sangat rajin,
sehingga Raja amat sayang padanya.
Waktupun
berlalu. Jayaprana telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Raja berkata kepada
Jayaprana untuk segera mencari jodoh. Tapi, Jayaprana merasa masih terlalu
muda, ia pun menolak.
Suatu hari
Jayaprana berjalan-jalan ke pasar, siapa tahu ia bertemu dengan seorang gadis
yang cocok untuk dijadikan sebagai pendamping hidupnya. Harapannya pun
terwujud. Di sana ia melihat seorang dara jelita yang sedang berjalan hendak
berbelanja. Jayaprana terpikat hatinya. Ia membuntuti gadis itu. Gadis itu
bernama Ni Layonsari, puteri Jero Bendesa dari desa Banjar Sekar.
Jayaprana
kembali ke istana dengan hati yang berbunga-bunga karena cinta. Ia menceritakan pertemuannya dengan seorang gadis kepada Baginda Raja. Raja kemudian menulis
sepucuk surat ke Jero Bendesa yang berisi tentang lamaran untuk Ni Layonsari. Jayaprana
sendiri yang mengantarkannya.
“ Di dasar
relung jiwaku bergema nyanyian tanpa kata; sebuah lagu yang bernafas di dalam
benih hatiku, yang tiada dicairkan oleh tinta di atas lembar kulit ; ia meneguk
rasa kasihku dalam jubah yg tipis kainnya, dan mengalirkan sayang, Namun bukan
menyentuh bibirku.” ( Khalil Gibran )
Jero Bendesa
merasa bahagia setelah membaca surat dari Raja. Puterinya dilamar orang,
terlebih Sang Raja sendiri yang menulis
surat kepadanya. Hatinya merasa tersanjung. Ia membujuk puterinya untuk
menerima pinangan Jayaprana. Tentu saja Layonsari langsung menerima dengan
gembira, karena gadis desa itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama
terhadap Jayaprana.
Raja
mengumumkan bahwa pada hari Selasa Legi wuku Kuningan akan diselenggarakan upacara
pernikahan I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Raja memerintahkan kepada semua
penghuni istana untuk bergotong royong mempersiapkan semua keperluan dan
kelengkapan pesta. Semua orang membantu dengan senang hati. Akhirnya,
Jayaprana, sang pemuda idaman para gadis telah menemukan jodohnya.
“ Siapa
berani menyatukan debur ombak samudra dengan kicau bening burung malam? Siapa yang berani membandingkan deru alam, dengan desah bayi yang nyenyak di
buaian? Siapa berani memecah sunyi dan lantang menuturkan bisikan sanubari yang
hanya terungkap oleh hati?”
( Khalil Gibran )
( Khalil Gibran )
Upacara
pernikahan berlangsung khidmat di kediaman keluarga Jero Bendesa. Semua
penduduk desa datang ke pesta dan mengucapkan turut berbahagia kepada kedua
mempelai. Raja pun datang mendampingi Jayaprana. Layonsari mengahturkan sembah
kepada Baginda Raja dan memohon do’a restu. Tapi, di luar dugaan semua orang,
Sang Raja jatuh cinta kepada kecantikan Sang Pengantin wanita. Kisah cinta pun
berlanjut menjadi cinta segitiga.
“ Seorang wanita telah dilengkapi oleh
Tuhan dengan keindahan jiwa dan raga
adalah suatu kebenaran, yang sekaligus nyata dan maya, yang hanya bisa kita
fahami dengan cinta kasih, dan hanya bisa kita sentuh dengan kebajikan.” (
Khalil Gibran )
Pesta telah
usai dan Raja kembali ke istana diiringi para pengawal. Ia tidak bisa melupakan
wajah rupawan Layonsari. Ia terus memikirkannya. Ia ingin sekali memiliki
Layonsari, padahal telah memiliki belasan selir cantik di istana.
“ Mempesonanya
kamu
Menyungging senyummu
Menghiasi raut wajahmu
Mendiamkan detak jantungku
Mataku jadi pencuri senyummu
Yang menghantam jantungku
Bingung tak menentu
Dengan kehadiranmu
Mungkinkah menerimaku
Kutakut kehilanganmu
Bila kau tahu perasaanku
Yang jatuh cinta padamu “
Menyungging senyummu
Menghiasi raut wajahmu
Mendiamkan detak jantungku
Mataku jadi pencuri senyummu
Yang menghantam jantungku
Bingung tak menentu
Dengan kehadiranmu
Mungkinkah menerimaku
Kutakut kehilanganmu
Bila kau tahu perasaanku
Yang jatuh cinta padamu “
( Khalil
Gibran )
Hari demi
hari Raja terus memikirkan cara untuk memiliki Layonsari. Entah bisikan setan
apa ia pun akhirnya memerintahkan pengawal kepercayaannya untuk melenyapkan
Jayaprana, pemuda pegawai istana kesayangannya. Atas nasehat dari I
Saunggaling, Raja memerintahkan Jayaprana bersama rombongan untuk menyelidiki
terjadinya huru-hara di Celuk Terima yang dilakukan oleh orang-orang Bajo,
sebuah perahu hancur dan binatang-binatang dibunuh.
Baru seminggu
sepasang pengantin itu merasakan nikmatnya memadu kasih, datanglah utusan Raja meminta
Jayaprana datang ke paseban. Jayaprana pergi memenuhi panggilan tugas.
Jayaprana
beserta rombongan tiba di Celuk Terima untuk membereskan dan menghentikan
huru-hara yang terjadi disana. I Saunggaling menyerahkan sepucuk surat
kepadanya. Jayaprana membaca surat dari Raja yang berbunyi :
“ Hai
Jayaprana, manusia tidak berguna, berjalanlah engkau. Akulah yang menyuruh
membunuhmu. Dosamu sangat besar. Engkau melampaui tingkah Raja. Isterimu
sungguh milikku. Kuambil kujadikan isteri. Serahkan jiwamu sekarang. Jangan
melawan. Layonsari jangan kaukenang lagi. Kuperisteri hingga akhir jaman. “
Jayaprana
terkejut hampir tak percaya. Raja tega hendak membunuhnya. Sedih tak terkira.
Tapi ia tak berdaya. Tak bisa melawan. Dan Saunggaling menikamkan keris ke
perutnya. Jayaprana tewas seketika. Angin topan dan hujan menghantam bumi
seolah marah.
Berita duka
sampai ke telinga Layonsari. Wanita muda
itu tak kuat hidup tanpa suaminya. Ia lalu menghunuskan belati ke tubuhnya.
Kisah cinta
pasangan pengantin baru itu berakhir tragis.