Karya : Hans Christian Andersen
" Bekerja dengan rasa cinta, berarti menyatukan diri sendiri,dengan diri orang lain dan kepada Tuhan. Tapi bagaimanakah bekerja dengan rasa cinta itu ? Bagaikan menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan memakainya kelak." - Khalil Gibran -
Di sebuah negeri hiduplah seorang raja dengan
sebelas putera dan satu puteri. Setiap hari para pengawal mengantar sebelas pangeran muda tampan ke sekolah mereka. Para pengawal tidak pernah merasa bosan dan lelah melakukan tugasnya, karena tingkah menggemaskan dari para pangeran. Kesebelas pangeran muda itu pergi ke sekolah dengan lencana kerajaan di dada
dan pedang di pinggang kirinya.
Mereka menulis dengan pensil berlian , dan mereka
cepat menangkap pelajaran. Sang puteri kecil, Eliza, senang membuka dan memperhatikan gambar-gambar di buku gambar.
Tawa ceria selalu menghiasi istana. Mereka hidup bahagia di istana bersama ayah mereka. Sampai pada suatu hari sang raja berniat untuk menikah dengan seorang wanita cantik. Raja sungguh tidak menduga kalau ternyata wanita yang dinikahinya adalah penyihir jahat. Pernikahan berlangsung sangat meriah.
Tawa ceria selalu menghiasi istana. Mereka hidup bahagia di istana bersama ayah mereka. Sampai pada suatu hari sang raja berniat untuk menikah dengan seorang wanita cantik. Raja sungguh tidak menduga kalau ternyata wanita yang dinikahinya adalah penyihir jahat. Pernikahan berlangsung sangat meriah.
Dengan segala tipu daya wanita itu mengirim Eliza ke hutan rimba dan membiarkannya dimakan binatang buas. Ia juga menyihir para pangeran muda menjadi burung-burung.
"Pergilah dan
urus dirimu sendiri," kata
ratu. "Terbang seperti burung besar, yang tidak memiliki suara." Tapi, sedikit meleset dari yang diharapkan
oleh ratu jahat ini, para pangeran berubah menjadi sebelas angsa yang indah. Dan Puteri Eliza ditemukan oleh sepasang suami isteri petani yang kemudian merawatnya dengan penuh kasih sayang.
pic. from : kerangrebus.com |
“ Siapa yang lebih cantik dari anda ?” Tanya wanita
tua kepada mawar. dan mawar menjawab
: "Eliza.
Eliza gadis tercantik."
Dan ketika wanita tua duduk di pintu pondok pada hari
Minggu, dan membaca-buk himne, gemerisik angin menyentuh dedaunan, ia berkata pada
buku," Siapa yang lebih saleh dari Anda? " dan kemudian buku itu menjawab "Eliza." Dan mawar dan buku himne
mengatakan kebenaran sejati.
Pada
usia lima belas Eliza kembali ke istana. Ketika ratu melihat betapa cantiknya dia, dia menjadi penuh
dengki dan kebencian terhadap dirinya. Ratu ingin menyihir
Eliza menjadi angsa seperti saudara-saudaranya, tapi dia tidak berani melakukannya lagi, karena raja
ingin melihat putrinya. Satu pagi ratu masuk ke kamar mandinya
yang indah terbuat dari marmer dan dihiasi permadani, ia mengambil tiga ekor
kodok dan berkata kepada salah
satu, "Ketika Eliza datang ke kamar mandi, duduki
kepalanya, agar ia menjadi sebodoh kamu." Lalu ia berkata kepada yang lain, "
Tempelkan dirimu di dahinya, agar ia
menjadi seburuk kamu, sehingga ayahnya tidak bisamengenalinya. " Lalu ia berkata ke kodok yang
ketiga " Istirahat di
hatinya, maka dia
akan memiliki kecenderungan jahat, dan menderita akibatnya."
Jadi dia menempatkan kodok ke dalam air jernih, dan
mereka berubah hijau segera.
Eliza masuk ke kamar mandi. Melepaskan pakaiannya
dan masuk ke bak mandi. Eliza tidak menyadari ketika seekor kodok duduk di
rambutnya, kodok kedua menempel di dahinya dan kodok ketiga menempel di
dadanya. Ketika dia bangkit keluar dari air, ada tiga kuntum bunga poppy
merah mengambang di atas air.
Bukankah makhluk yang telah dicium penyihir akan berubah
menjadi mawar merah? Ketika ratu jahat melihat Eliza, ia mengusap wajah gadis itu dengan jus kenari sehingga berwarna coklat, kemudian rambutnya dibuat kusut
dan diolesi dengan salep
menjijikkan. Eliza yang cantik berubah menjadi buruk rupa.
Ketika ayahnya melihat dia, ia jauh terkejut, dan menyatakan dia bukan putrinya. Tak seorang pun mengenalnya, kecuali seekor anjing. Eliza menangis, dan teringat kepada sebelas saudaranya yang pergi entah kemana. Dengan hati hancur dan perasaan yang sedih ia berjalan menjauhi istana. Setelah seharian berjalan, sampailah ia ke sebuah hutan. Gadis malang itu tak tahu kemana harus pergi. Ia sangat merindukan saudara-saudaranya dan bertekad untuk mencari mereka. Malam telah tiba, ia kelelahan dan berbaring di atas lumut yang lembut, kepalanya bersandar di sebuah pohon, ia berdo’a. Udara lembut menyapu dahinya. Ia melihat cahaya berkilauan di tengah-tengah rumput dan lumut, seperti api berwarna hijau.
Ketika ayahnya melihat dia, ia jauh terkejut, dan menyatakan dia bukan putrinya. Tak seorang pun mengenalnya, kecuali seekor anjing. Eliza menangis, dan teringat kepada sebelas saudaranya yang pergi entah kemana. Dengan hati hancur dan perasaan yang sedih ia berjalan menjauhi istana. Setelah seharian berjalan, sampailah ia ke sebuah hutan. Gadis malang itu tak tahu kemana harus pergi. Ia sangat merindukan saudara-saudaranya dan bertekad untuk mencari mereka. Malam telah tiba, ia kelelahan dan berbaring di atas lumut yang lembut, kepalanya bersandar di sebuah pohon, ia berdo’a. Udara lembut menyapu dahinya. Ia melihat cahaya berkilauan di tengah-tengah rumput dan lumut, seperti api berwarna hijau.
Dia tertidur dan memimpikan saudara-saudaranya.
Dalam mimpinya ia melihat mereka menulis dengan pensil berlian di papan tulis
emas. Sedangkan dirinya memegang buku gambar, dan ia melihat brurung-burung
bernyanyi keluar dari bukunya, semua yang ada di buku berubah jadi hidup,
orang-orang berbicara kepadanya. Tapi, semuanya berlangsut sesaat saja,
semuanya melesat pergi ke tempat semula.
Ketika ia
terbangun, matahari sudah tinggi, namun pohon-pohon berdaun
tebal menghalangi pandangannya. Daun-daun
berwarna keemasan. Tercium
aroma wangi dari dedaunan hijau. Seekor burung bertengger di atas bahunya. Dia mendengar suara air beriak dari sejumlah mata air,
semua mengalir di sebuah danau dengan pasir keemasan. Semak-semak
tumbuh di sekitar danau. Eliza pergi ke danau dan melihat wajahnya di air, ia
terkejut, melihat wajahnya berwarna kecoklatan dan sangat jelek. Lalu ia
membasuh mukanya, dan kulit wajahnya kembali bersinar, lalu ia turun ke danau
untuk mandi. Tampaklah kecantikan yang indah tiada tara, kecantikan seorang
puteri raja. Ia mengenakan kembali pakaiannya, lalu minum air dengan tangannya.
Ia meneruskan perjalannya jauh kedalam hutan rimba. Di tengah hutan ia
mendapati pohon apel yang lagi berbuah, ia pun memetik buahnya dan memakannya
untuk menghilangkan rasa lapar. Ia
juga memetik lagi beberapa buah apel untuk bekal perjalanan. Terdengar
gemerisik dedaunan. Tiba-tiba ia merasa sangat sedih, sendirian di tengah
hutan. Sekeliling tampak gelap
Malam sudah tiba, ia membaringkan dirinya di atas rumput.
Hatinya terasa sangat sedih. Ia pun tertidur. Dan ketika pagi tiba, ia bangun
dan melanjutkan kembali perjalanannya meskipun tak tahu kemana ia harus pergi.
Ia terus melangkah.
Di tengah hutan ia bertemu dengan seorang wanita tua yang membawa keranjang
buah-buahan. Eliza bertanya kepadanya :
“ Ibu, pernahkah ibu melihat sebelas pangeran muda berkuda melewati
hutan? ”
"Tidak,"
jawab wanita tua itu, "Tapi, kemarin saya lihat sebelas angsa, dengan
mahkota emas di kepala mereka, berenang di sungai dekat
sini."
.
Kemudian wanita tua itu menuntun Eliza ke arah sungai. Ia berjalan menyusuri sungai, sampai ke tepi laut. “ Terima kasih anda telah mengantar saya mencari
saudara-saudara saya. “ Ujar Eliza kepada wnaita tua itu.
Ketika matahari
hendak terbenam, ombak laut menyapu pantai, Eliza melihat sebelas angsa putih dengan mahkota emas terbang
turun. Kemudian Eliza berjalan menuruni lereng pantai. Angsa-angsa putih mengikutinya.
Ketika Eliza menghentikan langkahnya, sebelas angsa-angsa cantik itu
menghampirinya. Bersamaan dengan tenggelamnya matahari di balik bukit,
kesebelas angsa berubah wujuh menjadi sebelas pangeran tampan. Eliza menjerit
terkejut melihatnya, dan ia pun bergegas melompat ke pelukan saudara-saudaranya.
Eliza sangat gembira. Para angsa itupun
merasa bahagia bertemu dengan Eliza yang telah menjadi seorang gadis remaja
jelita.
" Kami terbang di siang
hari, ketika matahari bersinar di langit, wujud kami berbentuk angsa. Tapi, kami harus segera turun dan menginjakkan
kaki kami ketika matahari hendak terbenam, Karen kami berubah wujud kembali
menjadi manusia.” Pangeran sulung menjelaskan kepada Eliza
“ Kami akan terbang ke sebuah negeri yang indah.
Kami ingin sekali mengajakmu, adikku tercinta. Tapi kami tidak tahu bagaimana
caranya. Kami tidak memiliki kapal atau perahu.”
Mereka berbagi cerita sepanjang malam dan melepas
rasa kangen. Hanya beberapa jam saja mereka tidur. Pagi hari, Eliza terbangun oleh gemerisik
suara angsa. Eliza merasa sedih hatinya karena saudara-saudaranya berubah
kembali menjadi angsa-angsa putih.
Sepanjang siang angsa-angsa itu terbang di atas
pantai dan lautan. Kecuali angsa termuda, ia lebih senang duduk di pangkuan adiknya.
Eliza mengusap-usap sayapnya. Menjelang matahari terbenam mereka kembali. Dan
ketika matahari terbenam mereka berubah wujud kembali menjadi manusia.
"Besok
kami akan terbang jauh, tidak akan kembali lagi selama satu tahun. Tapi, kami tidak bisa meninggalkanmu di sini. Kau
harus bersama kami. Lenganku
cukup kuat untuk membawamu melalui hutan, dan sayap-sayap kita cukup kuat untuk
membawa terbang melalui lautan.”
"Ya, tentu
saja, saya ingin pergi bersama kalian.," kata Eliza. Kemudian mereka menghabiskan sepanjang malam dalam
menenun jaring dengan willow lentur. Jaring ini sangat
kuat. Eliza meletakkan dirinya di
atas jarring.
Ketika matahari terbit, sebelas angsa terbang membawa jaring dengan Eliza
didalamnya. Mereka terbang
jauh melewati hutan dan pegunungan.
Eliza menyaksikan
matahari tenggelam dengan rasa cemas. Mereka masih terbang di
atas. Bebatuan di tepi pantai belum bisa terlihat. Awan gelap tampak jelas terlihat, hembusan angin kencang, petir berkilatan,
Guntur menggelegar. Matahari seperti
ingin sembunyi di balik laut. Para angsa melesat turun ke tepi pantai, kepala
Eliza terbentur, mereka jatuh. Ombak menyapu pantai, suaranya bergemuruh.
Langit berkedap-kedip karena kilatan petir. Eliza dan sebelas pangeran saling berpegangan
erat. Mereka kemudian
duduk dengan tetap saling berpegangan tangan, menyanyikan lagu-lagu. Ombak
terus bergemuruh seperti marah, petir berkilatan. Mereka tetap berharap
semuanya akan baik-baik saja.
Menjelang dini hari alam berubah tenang dan diam. Dan saat matahari terbit angsa-angsa kembali
terbang jauh membawa serta Eliza. Melewati pegunungan bersalju di puncaknya.
Dan akhirnya sampailah mereka di atas sebuah istana dengan bunga-bunga indah
bermekaran di sekitarnya. Eliza bertanya
: “Apakah itu istana yang mereka tuju ?”, tapi saudara-saudaranya menggelengkan
kepala. Eliza melihat kebawah, hutan, gunung, gereja-gereja megah dengan
menaranya yang tinggi, ia membayangkan bisa mendengarkan nada organ, tetapi
sesaat kemudia ia tersadar bahwa itu hanyalah gemuruh ombak. Ia melihat gereja
itu berubah menjadi kapal armada, kemudian berubah lagi menjadi kabut di atas
lautan. Yang dilihatnya adalah fatamorgana. Kemudian ia melihat pemandangan
nyata berupa gunung-gunung biru, hutan, kota-kota dan istana.
Akhirnya mereka sampai ke sebuah gua besar berlantai
rumput hijau. “ Malam ini kau
bisa tidur dan bermimpi di sini” salah satu angsa berkata kepada Eliza sambil
menunjuk ke sebuah ruangan yang diperuntukkan sebagai kamar Eliza.
Eliza duduk di atas sebuah batu dan berdo’a.
Kemudian Eliza tertidur dan bermimpi, ia terbang tinggi di udara menuju istana
awan, seorang peri cantik keluar menemuinya. “ Saudara-saudaramu bisa bebas.” Peri itu
berkata. "jika kau
benar-benar memiliki keberanian,
tekad yang kuat dan ketekunan.
Benar, air lebih lembut dari tangan halusmu. Kau harus menenun
sebelas mantel berlengan panjang. Dan apabila sebelas mantel itu dilemparkan
kepada sebelas angsa itu, maka sihirnya kan rusak. Saudara-saudaramu berubah
kembali menjadi manusia. Tapi ingat, selama menenun mantel-mantel itu kau tidak
boleh berbicara sepatah kata pun. Kehidupan mereka tergantung padamu. Mungkin,
memakan waktu bertahun-tahun.” Lanjut sang peri. Ia kemudian menyentuh tangan
Eliza, dan rasa panas membakar seperti api, Eliza terbangun. Gadis itu telah
bermimpi di siang bolong. Ia teringat peri yang datang dalam mimpinya, wajahnya mirip dengan wanita tua yang ditemuinya di hutan. Kemudian ia berlutut dan mengucap syukur dan
berterima kasih kepada Allah. Tanpa
membuang waktu ia pergi keluar untuk memulai pekerjaannya.
Dia meraba-raba di
antara jelatang jelek, tak peduli tangannya yang halus jadi
lecet-lecet. Saat matahari terbenam saudar-saudaranya
kembali. Mereka mengkhawatirkan adiknya yang tak mau berbicara. Mereka percaya
adiknya itu terkena sihir wanita jahat. Tetapi ketika mereka melihat tangannya mereka mengerti apa yang dia
lakukan untuk mereka, dan Eliza menangis, air matanya jatuh ke tangannya, membuat lepuh
berangsur sembuh. Dia terus menenun sepanjang malam. Tak peduli rasa
lelah, demi saudara-saudaranya tercinta.
Ia terus menenun, berhari-hari, berbulan-bulan
lewat, bahkan tahun pun lewat. Selama
ia
menenun, banyak hal yang membuat jantungnya berdegup, ia mendengar klakson para
pemburu, anjing menggonggong. Tapi ia terus bertekad untuk menyelesaikan
menenun sebelas mantel.
Suatu hari para pemburu datang ke depan gua. Salah
satu dari mereka berwajah tampan seperti seorang pangeran. Mereka terkejut
melihat ada seorang gadis di dalam gua.
"Bagaimana bisa kau
berada di sini, gadis manis?" tanya si tampan. Tapi Eliza hanya menggeleng, tidak menjawab. Dia teringat janjinya kepada ibu peri,
hidup saudar-saudaranya tergantung padanya. Dan Eliza menyembunyikan tangannya
dibalik celemek.
" Kau tidak bisa hidup di sini. Gadis
secantik kau tidak boleh tinggal di dalam gua. Ikutlah denganku! Aku akan memberimu gaun-gaun
indah dari sutera dan beludru. Saya kan menghiasi kepalamu dengan mahkota emas.
Anda akan tinggal di istanaku.” Lanjut pemuda itu. Eliza tetap diam.
"
Saya akan membahagiakanmu!”
Si tampan, yang ternyata seorang raja muda itu
mengangkat tubuh Eliza dan menempatkannya di atas kuda. Kemudian kuda-kuda
berlari melewati pegunungan. Sang pangeran memeluk Eliza. Saat matahari terbenam, mereka mendekati sebuah kota dengan
gereja-gereja, dan kubah.
Saat tiba di istana pangeran
membimbingnya ke ruang marmer, air
mancur di tengahnya, dinding dan
langit-langit ditutupi dengan lukisan yang sangat indah. Tapi Eliza hanya bisa menangis. Ia
membiarkan dirinya ketika seorang wanita mendandaninya, memakaikan gaun indah,
kalung mutiara dan perhiasan lainnya, memakaikan sarung tangan di jarinya yang
melepuh dan lecet-lecet. Tapi wajahnya
tetap menunjukkan rasa sedih.
Semua hadirin membungkuk hormat kepada Puteri Eliza. Kemudian raja menyatakan niatnya untuk menikahi
Eliza. Tapi uskup agung menggeleng, dan berbisik bahwa gadis muda yang cantik
ini seorang penyihir yang telah
membutakan mata raja dan menyihir hatinya. Tetapi raja tidak mau mendengarkan ini,
ia memerintahkan agar musik segera dimainkan, hidangan disipakan, dan gadis-gadis mulai menari.
Ia Eliza tetap diam dengan wajah penuh duka, tak
terlihat secuil pun senyum. Raja menuntun Eliza ke sebuah ruangan mungil namun
indah, dihiasi permadani hijau mirip gua dimana Eliza tinggal. Seketika…Eliza
berubah menjadi seorang puteri yang sangat jelita, ketika terlihat di atas karpet buntalan rami dari jelatang,
dan di dinding tergantung beberapa mantel yang telah ia buat. Salah satu
pemburu telah membawa buntelan dan mantel itu karena rasa ingin tahunya.
"Di sini kau
bisa memimpikan rumah guamu”
kata raja, " mudah-mudahan semua ini bisa
menghiburmu, dan kau bisa melanjutkan pekerjaanmu. "
Ketika Eliza melihat semua itu, senyumnya mulai terlihat, dan darah merah mengalir ke pipinya, wajahnya kembali ceria. Dia mencium tangan raja.
Ketika Eliza melihat semua itu, senyumnya mulai terlihat, dan darah merah mengalir ke pipinya, wajahnya kembali ceria. Dia mencium tangan raja.
Lonceng gereja berdentang, pesta pernikahan raja dan
Eliza diumumkan. Uskup agung
membisikkan kata-kata jahat di telinga raja, memfitnah Eliza. Tetapi raja bersikeras, pernikahan tetap dilangsungkan. Dan Uskup Agung harus menempatkan mahkota di kepala pengantin perempuan.
Uskup itu meletakkan mahkota dengan keras, sehingga membuat Eliza kesakitan,
tapi ia tak boleh ada sebuah kata yang keluar dari mulutnya. Rasa nyeri itu
tidak sebanding dengan pedihnya kehilangan saudara-saudaranya. Satu kata akan merenggut nyawa saudara-saudaranya. Eliza
ini jatuh cinta kepada raja, tapi tak bisa berbicara.
Pada malam harinya Eliza menyelinap ke kamar
kecilnya dan mulai menenun, mekanjutkan pekerjaannya. Setelah menyelesaikan
mantelnya yang ketujuh ia kehabisan rami. Ia teringat di sekitar gereja tumbuh
jelatang. Ia harus pergi kesana memetik jelatang-jelatang itu. Tapi ia tak tahu bagaimana caranya ia
pergi keluar. "Aku harus
berani.". Kemudian dengan
hati gemetar, seolah-olah dia hendak melakukan perbuatan jahat, ia merayap ke
taman di bawah sinar bulan, melewati jalan-jalan sempit dan jalanan sepi, sampai ia
mencapai gereja. Melewati tanah kuburan, ia merasakan
takut, tapi ia harus memetik jelatang. Ia berdo’a dalam hati.
Uskup Agung
melihat apa yang dilakukan Eliza. Dia berpikir pendapatnya memang benar.
Sementara semua orang tertidur, wanita itu berkeliaran sekitar gereja, memetik
jelatang, pastilah ia seorang penyihir. Uskup itu mengatakan pada Raja apa yang
telah ia lihat. Raja terpengaruh oleh kata-kata Uskup. Pada malam
hari ia berpura-pura tidur, dan ia melihat Eliza bangun dan keluar dari kamar. Dari hari ke hari sikap raja berubah
terhadap Eliza. Gadis itu menangis.
Eliza hampir menyelesaikan tugasnya, tinggal satu
mantel lagi, tapi ia kehabisan rami. Untuk terakhir kalinya ia harus pergi ke
gereja memetik jelatang. Ia melawan rasa takut. Uskup Agung mengikutinya.
Orang-orang berdatangan menghampiri Eliza yang
sedang memetik jelatang. Raja memalingkan muka. “ Dia harus dihukum.” Katanya.
Mereka membawa Eliza ke sel yang suram, kontras
dengan segala kemewahan istana. Gaun beludru dan sutera diganti dengan kain
tenun kasar menutupi tubuhnya. Dan…mereka memberikan bundelan jelatang untuk
bantalnya, ini membuatnya senang. Ia terus menyelesaikan pekerjaannya menenun
mantel. Anak-anak di jalan bernyanyi mencemoohnya.
Pada malam hari ia mendengar kepak sayap-sayap. Ia
menangis gembira bertemu dengan saudara-saudaranya. Ia berpikir, ini mungkkin
jadi malam terakhir ia hidup. Tapi, ia terus berharap dan berdo’a. Kemudian uskup tiba, untuk menemaninya
selama jam terakhir, seperti yang telah dijanjikan raja. Tapi dia menggeleng,
dan memohon supaya dibiarkan seorang diri, karena ia
ingin menyelesaikan pekerjaannya, kalau tidak, semua usaha dan kerja kerasnya
akan sia-sia. Uskup pergi sambil melontarkan perkataan cemoohan yang
menyakitkan. Tapi Eliza tahu ia tidak bersalah, ia terus melanjutkan
pekerjaannya.
Hari masih gelap, sebelas orang pangeran berdiri di
pintu gerbang istana, mereka memaksa ingin bertemu dengan raja. Para penjaga
menolak karena raja masih tidur, mereka tidak berani membangunkannya. Tiba-tiba
raja muncul untuk melihat kebisingan, tapi saat itu telah menjelang pagi,
matahari telah terbit. Sebelas
bersaudara berubah menjadi angsa-angsa liar, terbang ke atas
benteng.
Orang –orang bergerombol pergi menuju gerbang kota. Mereka
ingin melihat penyihir wanita akan di bakar. Kuda tua menarik gerobak yang diduduki
seorang wanita dengan pakaian dari kain kasar. Kecantikan wanita itu masih
jelas terlihat, rambutnya tergerai indah. Pipinya pucat, bibirnya bergerak
tanpa suara, dan ia jari jemarinya terus menenun. Sepuluh mantel surat tergeletak di dekat kakinya, sementara massa mencemooh dan berkata,
"Lihat penyihir itu, bagaimana dia bergumam! Dia tidak memiliki buku himne
di tangannya. Dia duduk di sana dengan sihir jelek nya. Mari kita merobeknya
dalam seribu keping. "
Dan kemudian mereka merangsek maju ke arahnya, tetapi pada saat yang sama sebelas angsa liar terbang di atasnya, dan hinggap di gerobak. Kemudian mereka mengepakkan sayapnya yang besar, dan orang-orang bergerak mundur.
"Ini tanda dari surga bahwa dia tidak bersalah," bisik beberapa dari mereka, tetapi mereka tidak berani mengatakannya keras-keras.
Seorang algojo menangkap tangannya, untuk mengangkatnya keluar dari gerobak, dia buru-buru melemparkan sebelas mantel ke arah angsa-angsa itu. Seketika sebelas angsa-angsa putih berubah menjadi sebelas orang pangeran tampan. Tapi pangeran yang termuda memiliki sayap angsa, bukan lengan; karena ia belum mampu menyelesaikan lengan terakhir dari mantelnya.
"Sekarang saya bisa berbicara," Eliza berseru, "Saya tidak bersalah."
Kemudian orang-orang, yang melihat apa yang terjadi, membungkuk padanya. Tetapi ia terjatuh lunglai tak bernyawa di pelukan saudara-saudaranya.
Dan kemudian mereka merangsek maju ke arahnya, tetapi pada saat yang sama sebelas angsa liar terbang di atasnya, dan hinggap di gerobak. Kemudian mereka mengepakkan sayapnya yang besar, dan orang-orang bergerak mundur.
"Ini tanda dari surga bahwa dia tidak bersalah," bisik beberapa dari mereka, tetapi mereka tidak berani mengatakannya keras-keras.
Seorang algojo menangkap tangannya, untuk mengangkatnya keluar dari gerobak, dia buru-buru melemparkan sebelas mantel ke arah angsa-angsa itu. Seketika sebelas angsa-angsa putih berubah menjadi sebelas orang pangeran tampan. Tapi pangeran yang termuda memiliki sayap angsa, bukan lengan; karena ia belum mampu menyelesaikan lengan terakhir dari mantelnya.
"Sekarang saya bisa berbicara," Eliza berseru, "Saya tidak bersalah."
Kemudian orang-orang, yang melihat apa yang terjadi, membungkuk padanya. Tetapi ia terjatuh lunglai tak bernyawa di pelukan saudara-saudaranya.
"Ya, dia tidak
bersalah," kata pangeran tertua, dan kemudian ia menceritakan semua yang terjadi,
dan sementara ia berbicara, tercium aroma jutaan mawar.
Raja menyematkan sekuntum mawar di dada Eliza.
Kemudian Eliza
terbangun dari pingsannya, wajahnya tampak
tenang dan bahagia.
Sehari berikutnya terdengar lonceng dari semua gereja di kota. Prosesi pernikahan kembali dilangsungkan di istana.
Sehari berikutnya terdengar lonceng dari semua gereja di kota. Prosesi pernikahan kembali dilangsungkan di istana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar