Karya : Hans Christian Andersen
pic. from : wikipaintings.org |
Suatu malam yang dingin seorang penyair tua duduk di depan
tungku di
sudut ruangan. Apel terpanggang di atas api. Gemeretak jendela ditiup angin. Di
luar badai seakan mengamuk, sangat mengerikan, mengiringi datangnya hujan yang
deras. "Tidak ada kain kering yang tersisa untuk orang-orang miskin malang
di luar sana.” Gumamnya.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar. "
Permisi pak, tolong buka pintunya! Saya kedinginan. " suara anak kecil
menghiba. Kemudian terdengar suara tangis anak itu.
" Anak miskin yang malang!" Kata penyair sambil
bangkit berdiri, lalu berjalan untuk membuka pintu. Di luar berdiri anak kecil
menggigil kedinginan, telanjang. Jika dibiarkan saja tanpa pertolongan,
pastilah ia tewas dalam badai.
" Anak malang!"
Kata penyair, menuntun tangan anak itu, " Kemarilah ! Kau harus
menghangatkan badanmu. Aku memiliki anggur dan apel panggang.” Ia lalu menatap
wajah anak kecil itu, “ kau tampan sekali!” katanya. Anak itu memang tampan,
matanya berbinar seperti bintang, ia seperti malaikat kecil, meskipun wajahnya
tampak pucat. Di tangannya ia memegang busur indah, yang basah terkena hujan.
Penyair tua itu membuat minuman anggur dicampur
rempah-rempah hangat dan memberikannya segelas kepada anak kecil itu.
Beberapa saat setelah minum anggur rempah, wajah anak itu tampak berseri kemerahan. Ia
melompat-lompat dan menari-nari di sekitar penyair .
"Kau anak yang ceria." kata penyair.
"Siapa namamu?"
"Nama saya Cupid." jawab anak itu, " Tahukah Anda, saya memiliki busur panah? Saya menembak dengan itu.” Ia lalu mendekati jendela dan berkata : “Lihatlah, di luar cuaca berangsur membaik, bulan bersinar indah. "
"Tapi busurmu basah dan rusak." kata penyair tua.
" Ya...," kata anak kecil, mengambil itu dan melihat itu. " Tapi, sekarang telah kering lagi dan tidak rusak sama sekali. String cukup ketat,. Aku akan mencobanya " Anak itu mengambil sebuah anak panah, membidik, dan menembak penyair tua yang baik tepat di jantung. " Anda lihat kan..busur saya masih bagus?" Katanya, lalu tertawa dan berlari.
"Nama saya Cupid." jawab anak itu, " Tahukah Anda, saya memiliki busur panah? Saya menembak dengan itu.” Ia lalu mendekati jendela dan berkata : “Lihatlah, di luar cuaca berangsur membaik, bulan bersinar indah. "
"Tapi busurmu basah dan rusak." kata penyair tua.
" Ya...," kata anak kecil, mengambil itu dan melihat itu. " Tapi, sekarang telah kering lagi dan tidak rusak sama sekali. String cukup ketat,. Aku akan mencobanya " Anak itu mengambil sebuah anak panah, membidik, dan menembak penyair tua yang baik tepat di jantung. " Anda lihat kan..busur saya masih bagus?" Katanya, lalu tertawa dan berlari.
Sungguh
nakal anak itu, dan
sungguh tak tahu membalas budi, menembak penyair tua seperti itu, yang
telah menolongnya dan memberinya makanan hangat, anggur terbaik dan apel
terbaik.
Penyair tua
yang baik hati itu
berbaring di atas lantai, menangis, ia benar-benar ditembak tepat di jantung. "Oh!" Teriaknya,
" Sungguh nakal si Cupid ini! Aku akan memberitahu semua anak-anak supaya
mereka berhati-hati untuk tidak bermain dengan dia. "
Dan semua anak-anak, laki-laki dan perempuan, diberitahu supaya
waspada terhadap si anak nakal Cupid. Tetapi benar-benar nakal si Cupid ini.
Ketika para siswa keluar dari kelas, ia berjalan di samping mereka dengan buku
di bawah lengannya. Dan kemudian, ia membidikkan panahnya ke mereka. Cupid
selalu mengganggu mereka dan mengikuti kemana mereka pergi.
Cupid ini memang
anak nakal! Ia juga memanah jantung ayah
dan ibu kita.. Bahkan ia juga membidikkan panahnya ke jantung nenek tua. Ia selalu
membidikkan anak panah ke jantung orang-orang..... dimana saja...
Kadang-kadang si Cupid ini juga jahat, beberapa orang membunuh dirinya sendiri karena ulah dia.
“ Cinta akan terus didendangkan dari timur sampai barat.
Karena cinta akan terus menjelma dalam keceriaan anak-anak sampai kebajikan
orang tua. Sesuatu yang dibicarakan terus-menerus, pastilah sesuatu yang belum
terpahami. Demikian pula cinta. Cinta selalu dibicarakan, karena sesungguhnya
kita belum memahaminya.” - Khalil Gibran -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar