Senin, 13 Mei 2013

Si Pitung, Robinhood dari Betawi



pic. from jebolanblkd.blogspot.com
“ Kucintai desa kelahiranku dengan sebagian cintaku untuk negeri, kucintai negeriku dengan sebagian cintaku untuk bumi.” (Khalil Gibran)

Si Pitung merupakan tokoh legendaris masyarakat Betawi, pendekar silat yang tangguh dan memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, pahlawan yang menghadapi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penguasa pada masa penjajahan Belanda. Si Pitung merupakan Robinhood dari Betawi. Si Pitung lahir di daerah Pengumben sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin (seorang pedagang kambing). Seperti yang dikisahkan dalam film Si Pitung (1970). Si Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari Bahasa Jawa Pituan Pitulung (Kelompok Tujuh), kemudian nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli Si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen).

Pitung remaja sering menyaksikan kekejaman para centeng tuan tanah Kebayoran Liem Tjang Soen dan kezaliman Pemerintah Penjajah serta para serdadu Hindia Belanda yang dibantu oleh Demang Kebayoran, yang menagih pajak secara paksa kepada para penduduk kampung Rawabelong. Bahkan, sewaktu anak-anak ia menyaksikan sendiri kedua orang tuanya dianiaya oleh para centeng tuan tanah itu.

Si Pitung,sang Robinhood Indonesia,beserta kawan-kawannya merampas dan merampok harta tuan tanah, para penguasa, dan orang kaya yang berpihak kepada Belanda. Harta hasil rampasannya dibagikan ke orang-orang kampung dan rakyat miskin. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal (Rahmat Ali 1993:7).

Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat Betawi terhadap penguasa Belanda.    Kisah Si Pitung menggambarkan pembebasan sosial dari belenggu penjajah. 

Pada tahun 1892 Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah adanya nasihat dari Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) untuk menangkap Si Pitung. Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil.

Karena kejadian tersebut Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seseorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah "belincong (sejenis linggis pencungkil)” kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2).

Akibatnya, Si Pitung lepas lagi. Berdasarkan rumor, Pitung pernah menampakkan diri ke seorang wanita di sebuah perahu dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda, 12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan. Semakin sulitnya menemukan Si Pitung, menyebabkan harga untuk penangkapan Si Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden. Pemerintah Belanda pada saat itu ingin "menembak mati" di tempat , tetapi sebagian pejabat mengatakan jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak ditempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga.

Dji-ih ditangkap kembali di kampung halamannya, ketika sedang menderita sakit. Pada saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal. Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih dirumahnya. Dia menyerah tanpa perlawanan.

Beberapa bulan kemudian, di Bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Kemudian dalam perajalanannya Hinne diberikan laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893), kemudian Hinne menembaknya dalan penyergapan itu. Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya, tetapi, meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya yaitu hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore.

Setelah Hinne menangkap Pitung setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden. Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar tidak ada lagi si pitung lainnya yang lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.
                 Multi sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar